Sabtu, 13 Maret 2010

Sejarah Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah


Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah


Kelahiran IMM tidak lepas kaitannya dengan sejarah perjalanan Muhammadiyah, dan juga bisa dianggap sejalan dengan faktor kelahiran Muhammadiyah itu sendiri. Hal ini berarti bahwa setiap hal yang dilakukan Muhammadiyah merupakan perwujudan dari keinginan Muhammadiyah untuk memenuhi cita-cita sesuai dengan kehendak Muhammadiyah dilahirkan.
Di samping itu, kelahiran IMM juga merupakan respond atas persoalan-persoalan keummatan dalam sejarah bangsa ini pada awal kelahiran IMM, sehingga kehadiran IMM sebenarnya merupakan sebuah keha-rusan sejarah. Faktor-faktor problematis dalam persoalan keummatan itu antara lain ialah sebagai berikut (Farid Fathoni, 1990: 102) :
1. Situasi kehidupan bangsa yang tidak stabil, pemerintahan yang otoriter dan serba tunggal, serta adanya ancaman komunisme di Indonesia
2. Terpecah-belahnya umat Islam dalam bentuk saling curiga dan fitnah, serta kehidupan politik ummat Islam yang semakin buruk
3. Terbingkai-bingkainya kehidupan kampus (mahasiswa) yang berorientasi pada kepentingan politik praktis
4. Melemahnya kehidupan beragama dalam bentuk merosotnya akhlak, dan semakin tumbuhnya materialisme-individualisme
5. Sedikitnya pembinaan dan pendidikan agama dalam kampus, serta masih kuatnya suasana kehidupan kampus yang sekuler
6. Masih membekasnya ketertindasan imperialisme penjajahan dalam bentuk keterbelakangan, kebodohan, dan kemiskinan
7. Masih banyaknya praktek-praktek kehidupan yang serba bid'ah, khurafat, bahkan ke-syirik-an, serta semakin meningkatnya misionaris-Kristenisasi
8. Kehidupan ekonomi, sosial, dan politik yang semakin memburuk
Dengan latar belakang tersebut, sesungguhnya semangat untuk mewadahi dan membina mahasiswa dari kalangan Muhammadiyah telah dimulai sejak lama. Semangat tersebut sebenarnya telah tumbuh dengan adanya keinginan untuk mendirikan perguruan tinggi Muhammadiyah pada Kongres Seperempat Abad Muhammadiyah di Betawi Jakarta pada tahun 1936. Pada saat itu, Pimpinan Pusat Muhammadiyah diketuai oleh KH. Hisyam (periode 1934-1937). Keinginan tersebut sangat logis dan realistis, karena keluarga besar Muhammadiyah semakin banyak dengan putera-puterinya yang sedang dalam penyelesaian pendidikan menengahnya. Di samping itu, Muhammadiyah juga sudah banyak memiliki amal usaha pendidikan tingkat menengah.
Gagasan pembinaan kader di lingkungan maha-siswa dalam bentuk penghimpunan dan pembinaan langsung adalah selaras dengan kehendak pendiri Muhammadiyah, KHA. Dahlan, yang berpesan bahwa "dari kalian nanti akan ada yang jadi dokter, meester, insinyur, tetapi kembalilah kepada Muhammadiyah" (Suara Muhammadiyah, nomor 6 tahun ke-68, Maret II 1988, halaman 19). Dengan demikian, sejak awal Muhammadiyah sudah memikirkan bahwa kader-kader muda yang profesional harus memiliki dasar keislaman yang tangguh dengan kembali ke Muhammadiyah.
Namun demikian, gagasan untuk menghimpun dan membina mahasiswa di lingkungan Muhammadiyah cenderung terabaikan, lantaran Muhammadiyah sendiri belum memiliki perguruan tinggi. Belum mendesaknya pembentukan wadah kader di lingkungan mahasiswa Muhammadiyah saat itu juga karena saat itu jumlah mahasiswa yang ada di lingkungan Muhammadiyah belum terlalu banyak. Dengan demikian, pembinaan kader mahasiswa Muhammadiyah dilakukan melalui wadah Pemuda Muhammadiyah (1932) untuk mahasiswa putera dan melalui Nasyi'atul Aisyiyah (1931) untuk mahasiswa puteri.
Pada Muktamar Muhammadiyah ke-31 pada tahun 1950 di Yogyakarta, dihembuskan kembali keinginan untuk mendirikan perguruan tinggi Muhammadiyah. Namun karena berbagai macam hal, keinginan tersebut belum bisa diwujudkan, sehingga gagasan untuk dapat secara langsung membina dan menghimpun para mahasiswa dari kalangan Muhammadiyah tidak berhasil. Dengan demikian, keinginan untuk membentuk wadah bagi mahasiswa Muhammadiyah juga masih jauh dari kenyataan.
Pada Muktamar Muhammadiyah ke-33 tahun 1956 di Palembang, gagasan pendirian perguruan tinggi Muhammadiyah baru bisa direalisasikan. Namun gagasan untuk mewadahi mahasiswa Muhammadiyah dalam satu himpunan belum bisa diwujudkan. Untuk mewadahi pembinaan terhadap mahasiswa dari kalangan Muhammadiyah, maka Muhammadiyah membentuk Badan Pendidikan Kader (BPK) yang dalam menjalankan aktivitasnya bekerja sama dengan Pemuda Muhammadiyah.
Gagasan untuk mewadahi mahasiswa dari ka-langan Muhammadiyah dalam satu himpunan setidaknya telah menjadi polemik di lingkungan Muhammadiyah sejak lama. Perdebatan seputar kelahiran Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah berlangsung cukup sengit, baik di kalangan Muhammadiyah sendiri maupun di kalangan gerakan mahasiswa yang lain. Setidaknya, kelahiran IMM sebagai wadah bagi mahasiswa Muhammadiyah mendapatkan resistensi, baik dari kalangan Muhammadiyah sendiri maupun dari kalangan gerakan mahasiswa yang lain, terutama Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Di kalangan Muhammadiyah sendiri pada awal munculnya gagasan pendirian IMM terdapat anggapan bahwa IMM belum dibutuhkan kehadirannya dalam Muhammadiyah, karena Pemuda Muhammadiyah dan Nasyi'atul Aisyiyah masih dianggap cukup mampu untuk mewadahi mahasiswa dari kalangan Muhammadiyah.
Di samping itu, resistensi terhadap ide kelahiran IMM pada awalnya juga disebabkan adanya hubungan dekat yang tidak kentara antara Muhammadiyah dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Hubungan dekat itu dapat dilihat ketika Lafrane Pane mau menjajagi pendirian HMI. Dia bertukar pikiran dengan Prof. Abdul Kahar Mudzakir (tokoh Muhammadiyah), dan beliau setuju. Pendiri HMI yang lain ialah Maisarah Hilal (cucu KHA. Dahlan) yang juga seorang aktifis di Nasyi'atul Aisyiyah.
Bila asumsi itu benar adanya, maka hubungan dekat itu selanjutnya sangat mempengaruhi perjalanan IMM, karena dengan demikian Muhammadiyah saat itu beranggapan bahwa pembinaan dan pengkaderan mahasiswa Muhammadiyah bisa dititipkan melalui HMI (Farid Fathoni, 1990: 94). Pengaruh hubungan dekat tersebut sangat besar bagi kelahiran IMM. Hal ini bisa dilihat dari perdebatan tentang kelahiran IMM. Pimpinan Muhammadiyah di tingkat lokal seringkali menganggap bahwa kelahiran IMM saat itu tidak diperlukan, karena sudah terwadahi dalam Pemuda Muhammadiyah dan Nasyi'atul Aisyiyah, serta HMI yang sudah cukup eksis (dan mempunyai pandangan ideologis yang sama). Pimpinan Muhammadiyah pada saat itu lebih menganakemaskan HMI daripada IMM. Hal ini terlihat jelas dengan banyaknya pimpinan Muhammadiyah, baik secara pribadi maupun kelembagaan, yang memberikan dukungan pada aktivitas HMI. Di kalangan Pemuda Muhammadiyah juga terjadi perdebatan yang cukup sengit seputar kelahiran IMM. Perdebatan seputar kelahiran IMM tersebut cukup beralasan, karena sebagian pimpinan (baik di Muhammadiyah, Pemuda Muhammadiyah, Nasyi'atul Aisyiyah, serta amal-amal usaha Muhammadiyah) adalah kader-kader yang dibesarkan di HMI.
Setelah mengalami polemik yang cukup serius tentang gagasan untuk mendirikan IMM, maka pada tahun 1956 polemik tersebut mulai mengalami pengendapan. Tahun 1956 bisa disebut sebagai tahap awal bagi embrio operasional pendirian IMM dalam bentuk pemenuhan gagasan penghimpun wadah mahasiswa di lingkungan Muhammadiyah (Farid Fathoni, 1990: 98). Pertama, pada tahun itu (1956) Muham-madiyah secara formal membentuk kader terlembaga (yaitu BPK). Kedua, Muhammadiyah pada tahun itu telah bertekad untuk kembali pada identitasnya sebagai gerakan Islam dakwah amar ma'ruf nahi munkar (tiga tahun sesudahnya, 1959, dikukuhkan dengan melepas-kan diri dari komitmen politik dengan Masyumi, yang berarti bahwa Muhammadiyah tidak harus mengakui bahwa satu-satunya organisasi mahasiswa Islam di Indonesia adalah HMI). Ketiga, perguruan tinggi Muham-madiyah telah banyak didirikan. Keempat, keputusan Muktamar Muhammadiyah bersamaan Pemuda Muhammadiyah tahun 1956 di Palembang tentang "..... menghimpun pelajar dan mahasiswa Muhammadiyah agar kelak menjadi pemuda Muhammadiyah atau warga Muhammadiyah yang mampu mengembangkan amanah."
Baru pada tahun 1961 (menjelang Muktamar Muhammadiyah Setengah Abad di Jakarta) diseleng-garakan Kongres Mahasiswa Universitas Muham-madiyah di Yogyakarta (saat itu, Muhammadiyah sudah mempunyai perguruan tinggi Muhammadiyah sebelas buah yang tersebar di berbagai kota). Pada saat itulah, gagasan untuk mendirikan IMM digulirkan sekuat-kuatnya. Keinginan tersebut ternyata tidak hanya dari mahasiswa Universitas Muhammadiyah, tetapi juga dari kalangan mahasiswa di berbagai universitas non-Muhammadiyah. Keinginan kuat tersebut tercermin dari tindakan para tokoh Pemuda Muhammadiyah untuk melepaskan Departemen Kemahasiswaan di lingkungan Pemuda Muhammadiyah untuk berdiri sendiri. Oleh karena itu, lahirlah Lembaga Dakwah Muhammadiyah yang dikoordinasikan oleh Margono (UGM, Ir.), Sudibyo Markus (UGM, dr.), Rosyad Saleh (IAIN, Drs.), sedang-kan ide pembentukannya dari Djazman al-Kindi (UGM, Drs.).
Tahun 1963 dilakukan penjajagan untuk mendirikan wadah mahasiswa Muhammadiyah secara resmi oleh Lembaga Dakwah Muhammadiyah dengan disponsori oleh Djasman al-Kindi yang saat itu menjabat sebagai Sekretaris Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah. Dengan demikian, Lembaga Dakwah Muhammadiyah (yang banyak dimotori oleh para mahasiswa Yogyakarta) inilah yang menjadi embrio lahirnya IMM dengan terbentuknya IMM Lokal Yogyakarta.
Tiga bulan setelah penjajagan tersebut, Pimpinan Pusat Muhammadiyah meresmikan berdirinya Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) pada tanggal 29 Syawal 1384 Hijriyah atau 14 Maret 1964 Miladiyah. Penandatanganan Piagam Pendirian Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah dilakukan oleh Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah saat itu, yaitu KHA. Badawi. Resepsi peresmian IMM dilaksanakan di Gedung Dinoto Yogyakarta dengan penandatanganan ‘Enam Pene-gasan IMM' oleh KHA. Badawi, yaitu :
1. Menegaskan bahwa IMM adalah gerakan mahasiswa Islam
2. Menegaskan bahwa Kepribadian Muhammadiyah adalah landasan perjuangan IMM
3. Menegaskan bahwa fungsi IMM adalah eksponen mahasiswa dalam Muhammadiyah
4. Menegaskan bahwa IMM adalah organisasi maha-siswa yang sah dengan mengindahkan segala hukum, undang-undang, peraturan, serta dasar dan falsafah negara
5. Menegaskan bahwa ilmu adalah amaliah dan amal adalah ilmiah
6. Menegaskan bahwa amal IMM adalah lillahi ta'ala dan senantiasa diabdikan untuk kepentingan rakyat
Tujuan akhir kehadiran Ikatan Mahasiswa Muham-madiyah untuk pertama kalinya ialah membentuk akademisi Islam dalam rangka melaksanakan tujuan Muhammadiyah. Sedangkan aktifitas IMM pada awal kehadirannya yang paling menonjol ialah kegiatan keagamaan dan pengkaderan, sehingga seringkali IMM pada awal kelahirannya disebut sebagai Kelompok Pengajian Mahasiswa Yogya (Farid Fathoni, 1990: 102).
Adapun maksud didirikannya Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah antara lain adalah sebagai berikut :
1. Turut memelihara martabat dan membela kejayaan bangsa
2. Menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam
3. Sebagai upaya menopang, melangsungkan, dan meneruskan cita-cita pendirian Muhammadiyah
4. Sebagai pelopor, pelangsung, dan penyempurna amal usaha Muhammadiyah
5. Membina, meningkatkan, dan memadukan iman dan ilmu serta amal dalam kehidupan bangsa, ummat, dan persyarikatan
Dengan berdirinya IMM Lokal Yogyakarta, maka berdiri pulalah IMM lokal di beberapa kota lain di Indonesia, seperti Bandung, Jember, Surakarta, Jakarta, Medan, Padang, Tuban, Sukabumi, Banjarmasin, dan lain-lain. Dengan demikian, mengingat semakin besarnya arus perkembangan IMM di hampir seluruh kota-kota universitas, maka dipandang perlu untuk meningkatkan IMM dari organisasi di tingkat lokal menjadi organisasi yang berskala nasional dan mempunyai struktur vertikal.
Atas prakarsa Pimpinan IMM Yogyakarta, maka bersamaan dengan Musyawarah IMM se-Daerah Yogyakarta pada tanggal 11 - 13 Desember 1964 diselenggarakan Musyawarah Nasional Pendahuluan IMM seluruh Indonesia yang dihadiri oleh hampir seluruh Pimpinan IMM Lokal dari berbagai kota. Musyawarah Nasional tersebut bertujuan untuk mempersiapkan kemungkinan diselenggarakannya Musyawarah Nasional Pertama Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah pada bulan April atau Mei 1965. Musyawarah Nasional Pendahuluan tersebut menyepakati penunjukan Pimpinan IMM Yogyakarta sebagai Dewan Pimpinan Pusat Sementara IMM (dengan Djazman al-Kindi sebagai Ketua dan Rosyad Saleh sebagai Sekretaris) sampai diselenggarakannya Musyawarah Nasional Pertama di Solo. Dalam Musyawarah Pendahuluan tersebut juga disahkan asas IMM yang tersusun dalam ‘Enam Penegasan IMM', Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga IMM, Gerak Arah IMM, serta berbagai konsep lainnya, termasuk lambang IMM, rancangan kerja, bentuk kegiatan, dan lain-lain.

Masalah Kepemimpinan

Dalam setiap organisasi jelas dibutuhkan kepemimpinan yang efektif sehingga tujuan dan sasaran dari organisasi tersebut dapat tercapai. Untuk memahami masalah kepemimpinan ini tidak ada salahnya kita mencoba kembali membuka ingatan tentang makna kepemimpinan.
Pengertian kepemimpinan sering disamaratakan dengan istilah pimpinan. Secara sederhana pemimpin atau pimpinan adalah orang yang secara sah mempunyai kewenangan memimpin organisasi. Pemimpin dan Kepemimpinan merupakan suatu kesatuan kata yang tidak dapat dipisahkan secara struktural maupun fungsional. Pemimpin diartikan sebagai figur sentral yang mempersatukan kelompok, atau juga individu yang memiliki program/rencana dan bersama anggota kelompok bergerak untuk mencapai tujuan dengan cara yang pasti. Sedangkan Kepemimpinan diartikan sebagai suatu kemampuan meng-handel orang lain untuk memperoleh hasil yang maksimal dengan friksi sesedikit mungkin dan kerja sama yang besar, kepemimpinan merupakan kekuatan semangat/moral yang kreatif dan terarah. Dan menurut Brown (1936) berpendapat bahwa pemimpin tidak dapat dipisahkan dari kelompok, akan tetapi boleh dipandang sebagai suatu posisi dengan potensi tinggi di lapangan. Dalam hal sama, Krech dan Crutchfield memandang bahwa dengan kebaikan dari posisinya yang khusus dalam kelompok ia berperan sebagai agen primer untuk penentuan struktur kelompok, suasana kelompok, tujuan kelompok, ideologi kelompok, dan aktivitas kelompok.

Dalam proses kepemimpinan tidak dapat dilepaskan dalam pelaksanaannya dari gaya kepemimpinan. Setiap pemimpin mempunyai gaya (style) yang karateristiknya bisa berbeda antara satu pemimpin dengan yang lain. Seorang pemimpin bisa jadi mempunya banyak gaya dalam menjalankan misi kepemimpinannya, namun demikian ada gaya dominan yang seringkali diaktualisasikan pemimpin dalam mengendalikan organisasinya.

• Gaya Otokratik : Pemimpin mengambil keputusan dengan bertindak sendiri, hanya memberitahukan kepada bawahannya (staf) tanpa mau mendengar pendapatnya, karena bawahannya hanya dianggap pelaksana sehingga tidak dilibatkan sama sekali dalam proses pengambilan keputusan. Pemimpin otokratik biasanya hanya berorientasi pada kekuasaan bukan relasional. Oleh karenanya, pemimpin dengan gaya otokratik biasanya tidak didambakan oleh bawahannya karena dalam mengendalikan organisasi unsur kemanusiaan seringkali diabaikan.
• Gaya Paternaistik : Karakternya seperti hubungan antara bapak dengan anak, sehingga dalam pengambilan keputusan dilakukan sendiri baru kemudian disampaikan kepada bawahan(staf) tanpa melibatkan dalam pengambilan keputusan. Dalam proses menjalankan fungsi kepemimpinannya biasanya bertindak atas dasar pemikiran tentang pemenuhan kebutuhan fisik para bawahannya. Orientasi kepemimpinan paternalistic adalah penyelesaian tugas sebaik-baiknya dan terpeliharanya hubungan baik antara atasan dengan para bawahannya sebagaimana hubungan bapak dengan anaknya.
• Gaya Kharismatik : Tipe kharismatik memandang kepemimpinan sebagai keseimbangan antara pelaksanaan tugas dan pemeliharaan hubungan dengan para bawahan. Pemeliharaan hubungan didasarkan pada hubungan relasional dan bukan berorientasi kekuasaan, walaupun dia memilikinya.
• Gaya Laissez Faire : berorientasi dengan menitikberatkan pada keseimbangan antara atasan bawahan dari pelaksanaan tugas. Dasar pemikirannya adalah bahwa jika dalam organisasi terdapat hubungan yang baik antara seorang pemimpin dengan para bawahan, diharapkan bawahan akan terdorong untuk menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan kepadanya secara bertanggung jawab.
• Gaya Liberal : Kepemimpinan dengan gaya liberal dalam mempengaruhi orang lain untuk mencapai tujuan yang ditetapkan lebih banyak dilakukan dengan pendelegasian tugas yang diberikan atasan kepada bawahannya. Pendelegasian tugas bisa diartikan disamping sebagai pembagian tugas juga sebagai bentuk kepercayaan atasan kepada bawahan atas kemampuan bawahannya menjalankan dan menyelesaikan tugas.
• Gaya Demokratis : Banyak pendapat bahwa gaya kepemimpinan demokratis dipandang sebagai gaya kepemimpinan paling ideal, walaupun tidak ada yang menjamin bahwa organisasi akan berjalan mulus tanpa hambatan. Pada umumnya pemimpin menyadari bahwa ada biaya yang harus ditanggung organisasi dengan adanya kepemimpinan yang demokratik. Gaya demokratis tergambar dari tindakan yang diambil pemimpin dengan mengikutsertakan para bawahannya dalam seluruh proses pengambilan keputusan.


Yang menjadi pertanyaan adalah tipe kepemimpinan apa yang cocok untuk organisasi kita???untuk menjawabnya kita perlu tahu situasi, kondisi dan karateristik organisasi kita seperti apa??

Dalam perjalanannya, organisasi dihadapkan pada berbagai situasi dan kondisi dalam mencapai tujuan/sasaran. Sehingga dalam mengendalikan organisasi pemimpin seyogyanya senantiasa memperhatikan bagaimana proses pengaruh mempengaruhi terjadi di dalam organisasinya.
*artikel dari berbagai sumber.

Sabtu, 27 Februari 2010

Mahasiswa profesi apoteker Farmasi UMS Juara pertama "Patient Counseling Event"

Mahasiswa profesi apoteker Farmasi UMS, Rina Ratna Wulandari berhasil meraih
juara pertama dalam lomba "Patient Counseling Event" di ITB 2009 kategori "
Advance"{. Lomba yang diadakan di ITB pada tanggal 28-29 Nov 09 kemarin ini
dikuti oleh perwakilan mhs S1 dan apoteker dari berbagai PTN/PTS
se-Indonesia.

Rina mendapatkan hadiah untuk mengikuti ajang IPSF (*International
Pharmaceutical Student's Federation) 56th World Congress* dan sekaligus
mewakili Indonesia di ajang *Patient Counseling Event International* di
Slovenia tahun depan.

Fakultas Farmasi UMS Tuan Rumah Pertemuan Anggota Komisi Pengembangan Pendidikan APTFI

Fakultas Farmasi UMS pada tanggal 9 Januari 2010 menjadi tuan rumah rapat Komisi Pengembangan Pendidikan (KPP) APTFI. Pertemuan dihadiri oleh tokoh-tokoh pendidikan Farmasi Indonesia dari perguruan tinggi farmasi (PTF) di Indonesia anggota Majelis Asosiasi Pendidikan Tinggi Farmasi Indonesia (APTFI). Pertemuan dihadiri pula oleh Ketua APTFI (Prof. Dr. Ibnu Gholib Gandjar, DEA., Apt.), yang bertindak sebagai nara sumber.

Agenda rapat adalah pemilihan ketua, wakil ketua dan sekretaris KPP APTFI dan agenda pengembangan pendidikan farmasi di Indonesia.

Rapat diikuti oleh wakil 12 PTF yaitu:

  1. Prof. Dr. Elly Wahyudin (Universitas Hasanuddin) (Terpilih sebagai Ketua)
  2. Prof. Dr. Subagus Wahyuono, M.Sc., Apt. (Universitas Gadjah Mada) (Terpilih sebagai Wakil Ketua)
  3. Dr. Retnosari Andrajati, M.Pharm., Apt. (Universitas Indonesia) (Terpilih sebagai Sekretaris)
  4. Dr. Daryono Hadi Tjahyono, M.Sc., Apt. (Institur Teknologi Bandung)
  5. Drs. Sohadi Warya, MS., Apt. (Universitas Padjadjaran)
  6. Dr. Muslim Suardi, MS., Apt. (Universitas Andalas)
  7. Dra. Nurul Mutmainah, M.Si., Apt. (Universitas Muhammadiyah Surakarta)
  8. Dr. Masruchin, MM., Apt. (Universitas Pancasila)
  9. Agatha Budi SL., M.Si., Apt. (Universitas Sanata Dharma)
  10. Dra. Endang Wahjuningsih, MS., Apt. (Universitas Surabaya)
  11. Drs. Koencoro Foe, M.Sc., Apt., Ph.D., (Universitas Widya Mandala)
  12. MuhMuhlis, S.Si., Sp.FRS., Apt. (Universitas Ahmad Dahlan)

Pertemuan tersebut akan ditindak lanjuti dengan pertemuan berikutnya pada tanggal 20-21 Februari 2010 di Universitas Ahmada Dahlan dan bulan Maret 2010 di Universitas Hasanuddin.

Hasil-hasil APTFI diharapkan dapat memberikan warna dan perubahan pada dunia pendidikan Farmasi di Indonesia.

Pelantikan Dekan Baru Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta

Alhamdulillah, setelah melewati sekian tahapan mekanisme pemilihan dekan baru di Fakultas Farmasi UMS, dari penjaringan nama bakal calon Dekan, pengumpulan surat kesediaan balon, pengajuan dan wawancara balon ke PWM, pemilihan di tingkat senat Fakultas, dan pengusulan balon terpilih ke rektorat UMS.

Dekan terpilih, Dr. Muhammad Da'i, M.Si., Apt. hari ini, Kamis 4 Februari 2010 akan dilantik oleh Rektor Universitas Muhammadiyah Surakarta. Semua civitas akademik mengucapkan Selamat dan Sukses atas pelantikan Dekan Baru Fakultas Farmasi UMS.

Bersama Dekan baru, seluruh civitas akademik akan mewujudkan asa yang terbaik demi kemajuan dan profesionalisme Fakultas Farmasi. Dengan mengenggam visi, misi dan tujuan Fakultas bersama kita ciptakan Fakultas Farmasi yang Islami dan Profesional menjadikan fakultas sebagai pusat unggulan (center of excellence).

Terima kasih tiada terhingga kepada Ibu Dra. Nurul Mutmainah, M.Si., Apt. atas pengabdian dan kerja kerasnya selama menjadi Dekan Fakultas Farmasi UMS periode 2005-2010. Seluruh karya dan keberhasilan beliau menjadi tonggak fundamental untuk pengembangan fakultas ke depan yang melanjutkan kepemimpinan Dekan periode sebelumnya.

Selamat mengabdi dan menjalankan tugas kepada Dekan baru Fakultas Farmasi UMS.

Powered By Blogger